Pelangi di Atas Merapi
1. Persahabatan di Kampung Gejiwan.
Siang baru saja berganti menjadi sore, namun belum sore-sore amat, ya...kira-kira pukul 15:30, ketika hujan baru reda. Gerimis rintik-rintik masih turun sekalipun langit mendung di sebelah barat langit Kampung Gejiwan telah tersibak dan mentari dengan malas-malasan menyinarkan cahayanya.
Kampung Gejiwan memang bukanlah kampung yang sangat dikenal oleh banyak orang. Namun kampung ini sangatlah berkesan di hatiku, karena di sinilah aku dilahirkan. Dari orok hingga dewasa aku minum air dan makan dari hasil bumi kampung ini. Kampung ini jugalah yang membentukku menjadi 'aku' seperti sekarang ini.
Secara geografis kampung ini memang tidak punya arti besar bagi khalayak ramai. Secara sosial, baik dipandang dari tata negara maupun sejarah, kampung ini juga tidak memiliki arti penting karena memang belum pernah terdengar nama tokoh sejarah yang berasal dari kampung ini. Mungkin secara ekonomis barulah kampung ini punya arti.
Ya...kampung Gejiwan dihuni oleh masyarakat sederhana, dengan gaya hidup yang sederhana, pandangan yang sederhana, semuanya serba sederhana. 90% pencaharian penduduk Kampung Gejiwan (dusun Gejiwan) adalah petani, sebagian kecil adalah pedagang tetapi juga merangkap sebagai petani, ada juga tukang bangunan yang juga merangkap sebagai petani. Ada dua orang guru yang sudah pegawai negeri, tetapi juga merangkap sebagai petani. Satu-satunya seorang tata usaha di sebuah SMP Negeri adalah ibu Daryati.
Iya... sore itu aku sedang duduk di teras rumahku yang sangat sederhana, sambil meraut bilah bambu yang tadi pagi sempat aku potong dari kebun. Maklum aku harus segera mengumpulkan pekerjaan tangan, sebuah tugas yang diberikan oleh Ibu Sumiyati, guruku di kelas III SDN Dukun III. Aku ingin membuat sebuah hiasan dinding berbentuk bintang dari bilah bambu. Bukan pekerjaan yang sulit, namun perlu ketelatenan agar bilah bambu yang kuraut berukuran sama.
(bersambung....)
